Jumat, 01 April 2011

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM

Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun.

Akal adalah nikmat yang besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan.

Oleh karena itu dalam banyak ayat, Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), diantaranya :

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. An-Nahl: 12).

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. Ar-Ra’du: 4)

Sebaliknya, Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya :

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau menggunakan akal untuk memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Mulk: 10)

Ibnu Taimiyyah mengatakan : “(maknanya yaitu) tidak menggunakan akal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun hal itu tidak terpuji dar sisi tersebut, maka dalam kitab Allah serta Sunnah Rasulullah tidak terdapat pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…

Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:

· Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:

“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh” ( HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruqutni dari sahabat Ali dan Ibnu Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan Shahih dalam Shahihu al-Jami).

Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

Nabi bersabda :

“Setiap yang memabukkan itu haram” (dari Abu Musa Al-Asy’ari).

Asy-Syinqithi mengatakan, “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.”

Demikian pula tegaknya dakwah kepada keimanan adalah berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula ber-i’tikad memuliakan akal maka pada hakikatnya mereka menghinakan akal itu sendiri.

Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akala adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki kelemahan dan keterbatasan.

As-Safarini berkata,”Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berfikir. Allah menjadikannya dengan segala keterbatasan, ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya fikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya maka ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah tapi jika ia menggunakannya di luar lingkup dan batas yang telah Allah tetapkan maka ia akan membabi buta…

Untuk itu kita perlu mengetahui dimana sesungguhnya bidang garap akal. Pada intinya, akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib dibalik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tetntang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah,surga dan neraka yang semua itu dapat diketahui melalui Wahyu.

Nabi bersabda :

“Berfikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berfikir tentang Dzat Allah.” (HR.Ath-Thabarani, Al-lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar).

Allah berfirman dalam QS. Al-Isra ayat 85 :

“Dan mereka bertanya tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra: 85)

Oleh karena itu, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat walaupun ia tidak tahu hikmah dan sebab perintah itu karena tidak semua hikmah di balik hukum bisa dia ketahui. Kenyataannya, justru terlalu banyak hal yang tidak diketahui akal sehingga ia wajib tunduk pada syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu (siapa) mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus kemana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa dan terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut, tentu bagi yang meminta ftwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut. Karena, orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih berilmu.

Al-Imam Az-Zuhri mengatakan, “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampa ikan dan kewajiban kita menerima.

Berarti, orang yang menggunakan akal bukan pada tempatnya ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filsafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan dan mengangkatnya demikian perkataan mereka belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal. Kalau kita tidak mau mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Dimana mereka memaksa akal masuk ketempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan kesana.

Akal yang Terpuji dan Akal yang Tercela

Menengok penjelasan lalu dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal kadang terpuji ketika diposisikan pada tempatnya dan terkadang tercela, ketika diposisikan bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat sedangkan akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela ada beberapa macam:

1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al-Qur’an atau As-Sunnah.

2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan dibarengi dengan sikap menyepelekan dala mempelajari, memahami serta mengambil hukum dari nash-nash.

3. pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikit filsafat.

4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As-Sunnah.

5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka.

Jadi manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Harus ditinggalkan dan hendaknya menundukkan akal kita kepada syariat.

Akal Sehat Tidak Akan Menyelisihi Syariat

Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya- bahwa tatkala bertentangan antara akal dan Wahyu maka akal mesti dikedepankan.

Dengan prinsip itu sejak dahulu hingga kini mereka senantiasa menolak sekian nash yang shahih. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah, cukup kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim diatas.

Lebih rinci lagi, para ulama seperti Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, maka tidak akan tergambar bertentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih sama sekali tidak bertentangan dengan akal yang lurus. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yag diperselisihkan oleh manusi. Saya dapatkan bahwa sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan dengan akal pula, diketahui kebenaran dan kebaikan hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuatakal terkesima. Para Rasul tidak mengabarkan ssuatu yang tidak diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk mengetahuinya”.

Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash Wahyu, demikian pula siapa saja yang menempuh jalan serta meniti jejak mereka, hendaknya mengetahui bahwa tidak terdapat satu hadist pun di muka bumi ini bertentangan dengan akal kecuali hadist itu lemah atau palsu. Akal telah membenarkan syariat dalam segala hal yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala hal yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan akal.

Ketika Dalil Bertentangan dengan Akal

Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun, terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau demikian itu terjadi maka jangan salahkan dalil namun curigailah akal. Bisa jadi, akal tidak mampu memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu sendiri tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil maka ia pasti benarnya.

Ini berangkat dari ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para sahabat yang berpengalaman bersama Nabi dan mengalami kejadian turunnya Wahyu. Seperti dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab, “Wahai manusia, tuduhlah/curigailah akal kalian terhadap agama ini.”

Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan nabi dengan pendapatnya, walaupun setelah itu tunduk. Pada akhirnya beliau melihat ternyata maslahat keputusan Nabi sungguh sangat besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika antara dalil naqli dengan akal bertentangan, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh dibawah kaki. Tempatkan (Akal) dimana Allah meletakkannya dan menempatkan para pengkultusnya.

Abdul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah, berkata, “Adapun para pengikut kebenaran, mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya maka terima dan bersyukur kepada Allah dimana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah lalu menuduh akal mereka. Sesungguhnya keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang benar sedang pendapat manusia kadang benar dan kadang salah.”

Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan kepada orang-orang yang tetap mengedapankan akalnya dengan perkataan, “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari Al-Qur’an dan hadist ahad dan tampilkan akal, ‘ maka ketauhilah ia adalah Abu Jahal.”

Hadist Tentang Akal

“Agama adalah akal, barang siapa yang tidak punya agama maka ia tidak punya akal.”

Hadist diatas atau yang semakna dengannya begitu masyhur. Tak jarang kita mendengarkannya dari para khatib dan muballigh, bahkan menjadi salah satu landasan mereka yang mengkhultuskan akal. Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukannya dalam timbangan kritik hadist, mari kita melihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadist abad ini. Beliau mengatakan :

Hadist ini batil. Diriwayatkan oleh An-nasa’i dalam kitabnya Al-Kuna dan Ad-Dulabi meriwayatkan darinya dalam kitabnya Al-Kuna wal Asma (2/104) melalui seorang perawi bernama Bisyr bin Ghalib bin Bisyr bin Ghalib dari Az-Zuhri dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya sampai kepada Nabi tanpa kalimat “ Agama adalah akal.” An-Nasa’I mengatakan: “Hadist ini batil,mungkar.”

Saya katakana: “Sebabnya adalah karena Bisyr ini majhul (tidak dikenal) sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizanil I’tidal fi Naqdir Rijal dan oleh Ibnu hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Lisanul Mizan.

Al-Harits bin Abu Usamah meriwayatkan dalam musnad-nya dari seorang perawi bernama Dawud bin Al-Muhabbir sebanyak tigapuluh sekian hadist yang menerangkan tentang keutamaan akal. Ibnu Hajar mengomentarinya: “Semuanya palsu (maudhu’).”

Diantaranya adalah hadist yang kita bahas ini, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Dzailul La’ali Al-Mashnu’ah fil Ahadist Al-maudhu’ah (hal. 4-10) dan dinukil pula dari beliau oleh Al-‘Allamah Muhammad bin Thahir Al-Hindi dalam kitabnya Tadzkiratul maudhu’at (hal. 29-30).

Sedangkan Dawud bin Al-Muhabbir (tersebut diatas) dikatakan oleh Adz-Dzahabi”

“Dia adalah penulis buku Al-‘Aql (Akal). Duhai seandainya ia tidak menulisnya.” Al-Imam Ahmad mengatakan , “Sesungguhnya dia tidak tahu tentang hadist.”

Abu Hatim mengatakan: “hadistnya lenyap, tidak bisa dipercaya.”

Ad-Daruquthni mengatakan: “(Hadistnya) ditinggalkan.”

Abdul Ghani meriwayatkan dari Ad-Daruquthni bahwa ia mengatakan, “Buku Al-‘Aql (hadist-hadistnya) dipalsu oleh Maisarah bin Abdi Rabbih. Buku itu dicuri oleh Dawud bin Al-Muhabbir lalu dirangkai sendiri sanadnya, tidak seperti sanad Maisarah, lalu dicuri oleh Abdul Aziz bin Raja’ kemudian dicuri oleh Sulaiman bin ‘Isa As-Sijzi.”

Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Diantara yang perlu diingatkan bahwa seluruh hadist yang menerangkan keutamaan akal adalah hadist-hadist yang sama sekali tidak shahih, berkisar antara lemah dan palsu. Dan aku telah meneliti hadist-hadist yang disebut oleh Abu bakr bin Abid Dunya dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Aql wa Fadhluhu (Akal dan keutamaannya), maka saya dapati seperti yang tadi saya katakana, tidak sedikitpun yang shahih.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar