Jumat, 08 Juli 2011

contoh proposal 1

PROPOSAL LOMBA PEMBELAJARAN MEMBACA, MENULIS DAN BERHITUNG (CALISTUNG) SD/MI TAHUN PELAJARAN 2008/2009
TINGKAT KECAMATAN CIKARANG BARAT KABUPATEN BEKASI

A. PENDAHULUAN
Pendidikan Dasar seyogianya dapat memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa/siswi untuk mempersiapkan dan mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warganegara dan umat manusia serta yang mendasar adalah mempersiapkan siswa/siswi untuk dapat mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya.
Dalam upaya mengukur keberhasilan proses pendidikan khususnya di jenjang tingkat dasar, dalam hal ini SD/MI baik negeri maupun swasta serta pembuktian proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan guru kelas terutama dalam pembelajaran membaca, menulis dan berhitung yang merupakan kemampuan dasar dan harus dikuasai setiap siswa SD/MI itu, dipandang perlu untuk mengadakan upaya-upaya strategis yang dianggap relevan dan efektif bagi kepentingan dimaksud.
Oleh karenanya, kegiatan lomba Calistung ( membaca, menulis dan berhitung) bagi kelas I, II, dan kelas III yang dilaksanakan di tingkat Gugus, dan selanjutnya ditindak lanjuti dilaksanakan di tingkat Kecamatan yang kemudian dilaksanakan pula di tingkat Kabupaten dan Provinsi, ini merupakan langkah efektif untuk mengukur keberhasil belajar dan mengajar yang dilakukan siswa /siswi dan guru di kelas. Selain itu juga kegiatan Lomba calistung sebagai bentuk upaya perdulinya peyelenggara pendidikan terhadap kualitas dari hasil pendidikan.







B. DASAR.
Undang-undang RI No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
Surat Keputusan Mendikbud Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar.
Program Kasi SD Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi
Program KKPS Kabupaten Bekasi dan KKPS UPTD PAUD dan SD Kec. Cikarang Barat
Program K3S SD/MI se-Kecamatan Cikarang Barat
Keputusan Rapat Dinas Kepala SD/MI Kecamatan Cikarang Barat tanggal 05 Maret 2009.

C. TUJUAN.
Mendapat gambaran konkrit tentang pencapaian hasil belajar siswa SD/MI Kelas I, II dan III serta memotivasi guru untuk mengembangkan kegiatan belajar mengajar khususnya pembelajaran membaca, menulis dan berhitung di tingkat dasar.
Memberikan motivasi dalam memacu peningkatan prestasi siswa lebih kreatif sebagai pengembangan potensi dirinya dengan penuh tanggung jawab melalui persaingan sehat antar siswa SD/MI.
Memacu persaingan yang sehat antar siswa kelas I, II dan III SD/MI se-Kabupaten Bekasi khususnya pembelajaran calistung guna meningkatnya kualitas pendidikan.

D. PESERTA.
Peserta lomba Pembelajaran Calistung Tingkat Kecamatan Cikarang Barat adalah Regu Kelas I, II dan III dari masing-masing kelas yang merupakan utusan terbaik hasil seleksi setiap gugus SD/MI di Cikarang Barat yang akan diseleksi langsung untuk menentukan peringkat juara Kecamatan yang salah satu terbaiknya sebagai utusan dalam lomba serupa ke tingkat Kabupaten Bekasi, yang tanggal dan tempatnya ditentukan kemudian.


E. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Waktu Pelaksanaan pada hari SABTU tanggal 5 Januari 2008.
Tempat Pelaksanaan PKG, SD Telaga Asih 02 dan 06 Kecamatan Cikarang Barat.

F. MATERI LOMBA.
Kelas I
Membaca secara estafet selama 3 menit dari teks/bacaan cerita panjang dengan perolehan 60 kata setiap 1 menit.
Menulis/menyalin sebanyak 10 kalimat dengan tulisan tegak bersambung dan ejaan yang benar tanpa garis pembantu.
Dikte 10 kalimat dengan tulisan tegak bersambung dan ejaan yang benar tanpa garis pembantu.
Berhitung secara tertulis sebanyak 30 soal, terdiri dari 25 soal isian dan 5 soal dalam bentuk uraian. Berhitung mencongak sebanyak 10 soal terdiri dari soal uraian/cerita.

Kelas II
Membaca secara estafet selama 3 menit dari teks/bacaan cerita panjang dengan perolehan 80 kata setia 1 menit.
Menulis/menyalin sebanyak 10 kalimat dengan tulisan tegak bersambung tanpa garis pembantu.
Dikte 10 kalimat dengan tulisan tegak bersambung dan ejaan yang benar tanpa garis pembantu.
Berhitung secara tertulis sebanyak 35 soal, terdiri dari 30 soal isian dan 5 soal dalam bentuk uraian. Berhitung mencongak sebanyak 10 soal terdiri dari soal uraian/cerita.
Kelas III.
Membaca secara estafet selama 3 menit dari teks/bacaan cerita panjang dengan perolehan 120 kata setiap 1 menit.
Mengarang dengan acuan gambar berseri bertuliskan tegak bersambung disertai ejaan yang baik dan benar tanpa garis pembantu.
Dikte 10 kalimat dengan tulisan tegak bersambung dan ejaan yang benar tanpa garis pembantu
Berhitung secara tertulis sebanyak 40 soal terdiri dari 35 soal isian dan 5 soal dalam bentuk uraian.
Berhitung mencongak sebanyak 10 soal terdiri dari soal uraian/cerita.

G. TEKNIK PELAKSANAAN
Nomor peserta ditentukan berdasarkan hasil undian.
Pelaksanaan lomba terdiri dari :
Masing-masing tingkat terbagi menjadi 2 ruang, yaitu :
Ruang IA, IB,
Ruang II A, II B
Ruang III A, IIIB
Kegiatan Pelaksanaan :
a. Kegiatan Pertama, Berhitung secara tertulis dilanjutkan dengan mencongak di setiap kelas dan Ruang.
b. Kegiatan Kedua, Menulis/Menyalin bagi Kelas I dan II, dilanjutkan dengan dikte.
Dan kelas III mengarang dilanjutkan dengan dikte.
c. Kegiatan ketiga./terakhir yaitu membaca secara estafet untuk setiap regu, seluruh tingkat/kelas.

H. PENILAIAN.
Membaca, aspek yang dinilai meliputi : Lafal ( 0-20 ), Intonasi ( 5-20 ), Ekspresi/Penampilan ( 5-10 ), dan perolehan kata ( 5-50 ),
Menyalin, aspek yang dinilai meliputi : ejaan ( 5-40 ), Keindahan/Kerapihan (10-20) Kebenaran ( 5-40 ).
Dikte, aspek yang dinilai meliputi : Ejaan ( 5-40 ), Keindahan/Kerapihan ( 10-20 ), Kebenaran ( 5-40 ).





Berhitung tertulis.
Kelas I : 25 isian X skor 2 = 50
5 uraian X skor 3 = 15 Skor ideal : 65.
Kelas II : 30 isian X skor 2 = 60
5 uraian X skor 3 = 15 Skor ideal : 75
Kelas III : 35 isian X skor 2 = 70
5 uraian X skor 3 = 15 Skor ideal : 85
5. Mencongak. Setiap kelas 10 soal, skor masing-masing 3. Skor ideal : 30
Nilai : Skor yang diperoleh siswa X 100
Skor ideal
Mengarang Kelas III, aspek yang dinilai meliputi :
a. Menentukan judul ( 5-20 )
b. Ejaan / tulisan ( 10-30 )
c. Isi karangan ( 5-50 )

I. PERINGKAT KEJUARAAN
Untuk menentukan peringkat terbaik dari masing-masing kejuaraan adalah perolehan nilai tertinggi dan diputuskan oleh Tim Juri/Penilai, dan tidak bisa diganggu gugat.

J. BIAYA KEGIATAN
Biaya pelaksanaan Lomba ini merupakan swadaya murni dan mengacu kepada hasil keputusan Rapat Dinas Kepala SD/MI tingkat Kecamatan Cikarang Barat tanggal 5 Januari 2008 sebagaimana terlampir.

K. LAIN-LAIN.
Peringkat terbaik ( I ) berhak diikut sertakan dalam kegiatan lomba serupa ke tingkat selanjutnya.
Hal-hal lain yang belum tersurat dalam proposal kegiatan ini dan yang dianggap perlu akan dipertimbangkan dan ditentukan kemudian.


L. PENUTUP
Demikian proposal singkat kegiatan Lomba calistung SD/MI tingkat Kecamatan Cikarang Barat tahun pelajaran 2007/2008 ini disusun, terkandung maksud agar tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berjalan aman, tertib dan lancar serta tepat sasaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.

Cikarang Barat, 5 Januari 2008


PANITIA PENYELENGGARA
LOMBA CALISTUNG TINGKAT UPTD PAUD dan SD Kec. CIKARANG BARAT
Ketua, Sekretaris,



Drs. H. SUHIMAN K U S D I R A
NIP. 130 NIP. 132 260 034

Mengetahui/Menyetujui :
Kepala UPTD / TK SD
Kecamatan Cikarang Barat




Drs. UCUP BUDIMAN
NIP.: 131 109 868









PANITIA LOMBA PEMBELAJARAN CALISTUNG SD/MI
TINGKAT KECAMATAN CIKARANG BARAT KABUPATEN BEKASI
TAHUN PELAJARAN 2007/2008
==================================================
DAFTAR PESERTA LOMBA PEMBELAJARAN CALISTUNG SD/MI
KELAS : _____________( )
5 Pebruari 2008

No.
Urut Asal SD/MI
Gugus Nama Peserta L/P Tempat & Tgl. Lahir No.
Undian
A:
B:
Gugus : I
A:
B:
Gugus : II
A:
B:
Gugus : III
A:
B:
Gugus : IV
A:
B:
Gugus : V
A:
B:
Gugus : VI
A:
B:




































PANITIA LOMBA PEMBELAJARAN CALISTUNG SD/MI
TINGKAT KECAMATAN CIKARANG BARAT
TAHUN PELAJARAN 2007/2008

SURAT PENDAFTARAN PESERTA LOMBA
Nomor Pendaftaran : ……………….( Diisi oleh Panitia Tk. Kecamatan )
Nomor Gugus : ………………..
Bersama Ini kami kirimkan Daftar Calon Peserta Lomba Calistung Komponen SD/MI Tingkat Kecamatan Cikarang Barat, hasil seleksi tingkat Gugus SD/MI Tahun Pelajaran 2008/2009 sebagai berikut :

No.Urt Nama Peserta L/P Tempat, Tanggal Lahir Nama SD/MI

Kelas I :
A
B


Kelas II :
A
B


Kelas III :
A
B

Cikarang Barat, Maret 2009
Ketua Gugus ….



………………………………..
NIP.
Lampiran 1
SUSUNAN PANITIA
LOMBA PEMBELAJARAN MEMBACA, MENULIS DAN BERHITUNG
TINGKAT KECAMATAN CIKARANG BARAT KABUPATEN BEKASI
TAHUN PELAJARAN 2007/2008
PENANGGUNG JAWAB : Drs. H. JUHARA, M.Pd
( Ka.UPTD PAUD & SD Kec. Cikarang Barat )
H. CHAERUL ANWAR, S.Pd
( Ketua Cabang PGRI Kec. Cikarang Barat )
PANITIA PENYELENGGARA
Ketua : Drs. H. SUHIMAN
Wakil Ketua : Drs. H. ABDUL KODIR JAELANI
Sekretaris I : KUSDIRA
Bendahara : ATANG TAHYAN, S.Pd
SEKSI-SEKSI :
Koordinator Pembuat Soal : Drs. H. A. Jaelani, MM
Dra. Hj. Aisyah
1. Seksi Acara/Upacara : 1. Drs. H. Dodo, M.M.Pd
2. Didik Sukaji, S.Pd
2. Seksi Perlengkapan : 1. KARJA
3. Seksi Konsumsi : 1. MURNIATI.
2. ANI KARNI
3. CICILIA
4. Seksi Humas dan Dokumentasi : 1. Marudin, M.M.Pd
2. MUJARI, SPd
5. Seksi Umum : 1. S O I N
Cikarang Barat, 5 Januari 2008
Ketua, Sekretaris,

Drs. H. SUHIMAN K U S D I R A
NIP. 130 617 096 NIP. 132 260 034



Lampiran 3
DEWAN JURI LOMBA PEMBELAJARAN CALISTUNG SD/MI
TINGKAT KECAMATAN CIKARANG BARAT
TAHUN PELAJARAN 2007 / 2008
KOORDINATOR JURI :
a. Kelas I : Drs. A. Kodir Jaelani, MM.
b. Kelas II : Dra. Hj. Aisyah
c. Kelas III : Drs. Syarna Muchasyur

DEWAN JURI DAN PENGAWAS RUANG
1. KELAS I :

NAMA JURI ASAL SEKOLAH
1. Karnati St Farida
2. Agustina
3. Komariah

2. JURI KELAS II :

NAMA JURI ASAL SEKOLAH
1. Lamih
2. St Aisyah Nurfadilah
3. Yati Haryati

3. JURI KELAS III :

NAMA JURI ASAL SEKOLAH
1. Enen Surtikka N
2. Hartini, S.Si
3. Yoyoh Rokayah






Lampiran 2

RENCANA ANGGARAN BELANJA
KEGIATAN LOMBA PEMBELAJARAN CALISTUNG SD/MI
TINGKAT KECAMATAN CIKARANG BARAT
TAHUN PELAJARAN 2007/2008

NO. URAIAN KEGIATAN HARGA


1
2
3
4
5
6

7
8

9
10
11


12


13
14
15
16
17
18

19
20


21
22
23
24
25


A. PERSIAPAN AWAL
ATK ………………………………………………………………..
Rapat-rapat Panitia …………………………………………………
Pengadaan Juklak/Juknis …………………………………………...
Penyusunan Naskah ………………………………………………...
Penggandaan Naskah dan Pengepakan ……………………
Pengadaan Kartu Pengenal (Panitia,Peserta dan Dewan Juri)……...
Pengadaan Spanduk ………………………………………………...
Pengadaan Piala Kejuaraan………………………………………….
B. UPACARA:
Pengadaan Pengeras Suara, Alat musik pencanangan dll …
Label tata ruang dsb………………………………………………...
Konsumsi Tamu Undangan ………………………………………..
C. KEGIATAN INTI

Penataan Ruang Panitia, Dewan Juri, Lomba dan Penomoran Ruang meja peserta dll …………………
Pengadaan snek dan konsumsi :
- Peserta 324 X Rp. 5000
- Juri 27 X Rp 5000
- Panitia 12 X Rp 5000
Transport Pendamping 54 x 50. 000
- Kepala SD/MI 54 x 50. 000,-
- Tamu/Monitoring H
Honorarium:
- Juri 27 org X Rp. 100. 000
- Panitia

D. KEBUTUHAN LAIN :
- Akomodasi ……………………………………………………….
- Dokumentasi ………………………………………………
- Pembinaan Calon Peserta Tingkat Kabupaten …
- Transportasi ke Tingkat Kabupaten
- Kebersihan ………………………………………………………...



Rp 500. 000
Rp. 1. 500. 000
Rp. 800. 000
Rp. 500. 000
Rp. 900. 000

Rp. 650. 000
Rp. 750. 000
Rp. 1. 500. 000

Rp. 350. 000
Rp. 150. 000
Rp. 250. 000



Rp. 500. 000

Rp. 1. 620. 000
Rp. 135. 000
Rp. 60. 000
Rp. 2. 700. 000
Rp. 2. 700. 000
Rp. 500. 000

Rp. 2. 700. 000
Rp. 4. 000. 000


Rp. 500. 000
Rp. 300. 000
Rp. 500. 000
Rp. 1. 500. 000
Rp. 235. 000



Jumlah Rp. 26. 000. 000

Cikarang Barat, 5 Januari 2008
Ketua, Bendahara,



Drs. H SUHIMAN. ATANG TAHYAN, S.Pd
NIP.130 617 096 NIP. 130 723 422

EMPTY NOUN PHRASE & ANAPHORS

EMPTY NOUN PHRASE AND ANAPHORS
Written by WAWAN ANWAR MUSADAT
NPM : 2009 1250 1157

Phrase kata benda (NP) yang tersembunyi dan kata di depan kata penggantinya (ANTECEDENT).
Fungsi dari posisi kosong, ditunjukan sebagai [e]’ dalam kalimat berikut ini:
The director of prisons promised Peter [e] to visit the prison
“the director’s promised” mengacu kepada seorang yang spesifik yang “to visit the prison” tapi pada klausa tembahan memiliki subjek phrase kata benda yag tidak jelas. Sedangkan, hal ini sangat kekurangan sebuah subjek yang jelas di sebuah klausa tambahan yang sebagai tanda beberapa NP yang lain itu. Sebuah NP yang di Container clause (klausa pengisi) menunukan referensi dari empty noun phrase. NP yang relevant disini adalah the director of prison, subject dari container clause. “The director” adalah orang yang merencanakan untuk mengunjungi penjara. Jadi [e] mengacu kembali ke subjek dari klausa selanjutnya yang lebih tinggi.
Tapi, tidak selalu subjek container clause itu adalah NP yang relevan. Coba kita ganti promised dengan persuade.
The director of prison persuade Peter to visit the prison.
Dalam kalimat ini yang mengunjungi penjara bukan ”the Director” tapi “Peter”. Dia (Peter) adalah objek dari container claus. Jadi, ketika predikat “promise” memrlukan antecedent dari NP yang tersembunyi untuk menjadi subjek container clause “persuade” memerlukan antecedent untuk menjadi objek container clause.
Mengingat satu perbedaan antara pronominal dan empty noun phrase , [e]. Pronominal (berfunsi sebagai kata ganti) bebas di segala cara tapi tidak untuk [e]. pronominal ini tidak diperlukan untuk mengacu pada beberapa keterangan NP di lain tempat dalam kalimat.

Sally said she was leaving early

She tidak harus mengacu Sally sebagai antecedent nya. She dapat mengacu kepada beberapa individu wanita lain yang disebutkan di dalam tulisan maupun seseorang yang tidak disebutkan, contohnya kepada seseorang yng berdiri dekat si pembicara. ”si antecedent” dalam hal yang terakhir itu bukan sebuah unit bahasa melainkan seseorang. Pronominal orang pertama terbatas mengacu ke si pembicara dan he or she lain yang termasuk, sedangkan pronominal orang ke-3 mengacu pada si alamat.
NP yang tersenbunyi, sebaliknya, secara khas harus memiliki sebuah antecedent di container clause-nya. Tapi ada pengecualian, di pengisi “it”, sebuah [e] dapat mengacu kepada beberapa kesatuan yang tidak terspesifikasi yang dapat ditafsirkan dengan sebuah bentuk indefinite seperti anyone, anything, someone, atau something.
Its unusual [e] to see snow at this time of year
[e] to see snow at this time of year is unusual
Kita dapat memindahkan [e] di conoth tersebut dengan anyone tanpa mengubah proposional content kalimat. Tapi kita akan memerlukan komplemen for:
It’s unusual for anyone to see snow at this time of year.
For anyone to see snow at this time of year is unusual
Lebih jauh lagi, empty noun phrase dapat juga mengacu kepada si pembicara atau yang lainnya di dalam situasi pembicaraan., banyak sebagai pronominal I. you, we, me dan pronominal orang pertama dan kedua yang lainnya.melakuakan:
It’s sad [e] to see them leave so early.
Kondisi untuk jenis interpretasi ini adalah pragmatic, bukan grammatical.

ANAPHORS
Seperti pronominal, anaphor adalah bentuk yang memiliki fungsi utama untuk menunjukan referensi; tapi pendistribusiannya lebug terbatas. Sebuah anaphor adalah jenis kata ganti yang memiliki antecedent nya di klausa minimal yang sama atau NP. Dalam hal ini, secara keseluruhan berbeda dari kategori pronominal. Kita lihat paradima anaphor:



Table 1

Urutan orang Reflexive anaphors Reciprocal anaphors NP-internal reflexives NP-internal reciprocals
Orang pertama
Tunggal
Jamak

Myself
ourselves

One another, each other
My own
Our own

One another’s
Each other’s
Orang ke-2
Tunggal
Jamak
Yourself
yourselves

One another, each other
Your own
Your own

One another’s
Each other’s
Orang ke-3
Tunggal


Jamak
Himself, herself, itself, oneself
Themselves
One another, each other

One another, each other
Her, his, its


One’s own
Their own
One another’s


Each other’s

Untuk melihat bagaimana penyebaran anaphor berbeda dari pronominal. Kita lihat di kalimat-kalimat ini dengan anaphor:
The cats washed themselves delicately
*The cats thought that Josephine washed themselves delicately
Mengingat bahwa di kalimat-kalimat yang dapt kita terima, reflexive dan reciprocal anaphors terjadi dalam klausa yang sama sebagai antecedent-nya. Sebaliknya di kalimat yang berbintang sebagai yang ttidak grammatical, the anaphors and the antecedent di klausa yang berbeda.
Anaphor harus memiliki antecedent dalam klausa terkecil yang sama. Itu berlawanan dengan pronominal dalamhal ini. Anaphor harus diikat oleh antecedent ke dalam klausa terkecilnya. Demikian dua grup saling melengkapi satu sama lain
Kita telah melihat bahwa jenis penyebaran yang sama tentang pronominal dalam klausa dapat dibuat pronominal disamping NP. Kita mencatat bahwa di NP “a play that Marlowe wrote about shakespeare’s treatment of himself”. pronominal him tidak dapat mempunyai sebagai antecedent nya NP Shakespeare’s. karna keduanya ada di NP terkci yang sama, Shakespeare’s treatment ofhim. Sedangkan, Marlowe, yang bukan di NP kecil yang sama., dapat menjadi antecedent.
A play that Marlowe wrote about Shakespeare’s treatment of himself.

Disini antecedent yang hanya mungkin untuk mengikat himself adalah Shakespeare’s, yang didalam domain lokal NP yang sama; himself tidak dapat mengacu pada Marlowe. Pikiran local domain demikian valid untuk anaphor juga.
Kita formulasikan penyebaran berikut: sebuah anaphor harus mnegikat dalam local domain itu; sebuah pronominal haus bebas di dalam local domain nya.

TYPES OF NOUN (COUNT & NON COUNT)

EXPLANATION
TYPES OF NOUN


In English, as in many other languages, nouns are divided into two categories, known as "count nouns" and "non-count nouns".  These are sometimes called "countable nouns" and "uncountable nouns".

Count Nouns
Count nouns are nouns that refer to things that can be multiplied or counted, for example: one man, two women, three children, four cars, five shirts, six computers, seven sisters, and so on.

Non-Count Nouns
Non-count nouns are nouns that refer to generalisations, concepts or substances, things that cannot be put in the plural for example. water, oxygen, eternity, psychology, anger, politics, heat, alcohol.... and so on.

Count-Nouncount Distinction
Count nouns refer to entities viewed in English as individual units. The entities they refer to can be abstract (an idea, suggestion, belief, prejudice) as well as concrete ( a house, potato, finger, etc) when a count noun is singular and indefinite, the article “a/an” is often used with it. (The real meaning of “a” is “one”.)
The question from beginning how many…? Is used to ask about quantity for count noun only.
e.g,: how many students are coming today?

Non-count typically refers to entities that are viewed not as individual units but as something having no specific shape or boundry. when they are indefinite, we either use the word “some” or nothing at all instead of an article.
e.g., “Could I have some water please?”
“I'd like rice with my steak.”
Non counts noun are used to designated abstract or very generalized referents such as starvation, gravity, pollution, happiness, humanity, etc. they are also used for concrete things viewed as mass or bulk rather than as countable units, for example, butter, water, rice, furniture, etc. The question form how much…? Is used to ask about quantity for non count nouns
e.g,. How much money do you have?
Proper nouns are nouns that refer to specific entities. Writers of English capitalize proper nouns like Nebraska, Steve, Harvard, or White House to show their distinction from common nouns. Common nouns refer to general, unspecific categories of entities. Whereas Nebraska is a proper noun because it signifies a specific state, the word state itself is a common noun because it can refer to any of the 50 states in the United States. Harvard refers to a particular institution of higher learning, while the common noun university can refer to any such institution.
determiners with count and non count nouns
singular counts noun require either the indefinite article a/an or definite determiner like the, this, or that. For plural nouns, the only indefinite article allowed is the zero form, for example, houses rather than *a house. Some quantifiers, like each and every, can occur with singular count nouns,, while other quantifier, such as several, both, and few, occur with plural count nouns: each house every house few houses both houses several houses
The Indefinite Article
Singular indefinite noun phrase have several basic uses :
The specific indefinite use indicates a specific entity that is not yet familiar to addressee and not uniquely identified by the noun phrase
A beautiful girl cry
the Generic indefinite use refers not to anyone or anything specific but to a class of entities
they advertised for a three-bedroom apartment
the generic predicate noun phrase use provides a classification; this is a really a special case of the generic indefinite use
Toronto is a beautiful city

The interpretation of a noun phrase as specific or generic depends heavily on the predicate it occurs with the time reference of the clause, and the broader context.
In this example : the old lady have a baby boy
It should be clear that the reference is to a specific baby boy. However, in the next example, in which the verb are hope rather than have, the reference less clear, in the absence o other information, we might interpret the object noun phrase as generic:
The old lady are hoping for a baby boy.
The ambiguity disappears when the noun phrase is replaced by a pronoun. The pronoun it would be used for a baby boy noun phrase or specific baby. While one would be the choice if the reference was generic.
Essentially, the same uses can be listed for plural indefinite noun phrase the difference uses seem to blur at the boundaries:
The specific indefinite use indicates specific entities that are not yet in the mind of the addressee. In this use, plural noun, have either the zero indefinite article or the determiner some (often pronounced with a very weak stress (sm), but if some as quantifier never pronounced with weak stress and have meaning as contrast to all.
the generic indefinite use to refers to a class entities:
0 bicycles can be very expensive
Note : that some in generic noun phrase is used solely as quantifier; it refers to part of the class.
Some cars (i.e., not all) can be very expensive
the generic predicate noun phrase used indicates as classifying predicate. This again as a special case of the generic indefinite use
Tom and Pell were 0 deerhounds

The Definite Article
The definite article the can occur almost any kind of noun –count or non count, singular or plural- except for noncount proper nouns. In general, the definite article is used when its noun phrase refers to an entity that should be identifiable.
The entity may be considered identifiable for any several reasons:
1. it has previously been identified to the addressee
2. there’s only one such entity or event, at lest in our everyday experience
e..g., the sun, the Olympic games, the USA, etc.
3. within a particular context, the entity is something we assume exi
e.g : in the context of family, the father, the mother, the daughter, etc.
4. in context of human body: the hand, the feet, the eye, etc.
the entities has been referred to previously. A tall woman enterd the room.
May be followed by statements oscar noticed that the women looked angry.
6. the entity represented as unque in some context by modifiers like the
superlatives the strongest, the most beautiful. Or by other words
designating uniqueness, such as only and sole. The only reporter and the
sole representatives
7. the entity is present at the time of the utterance or within reasonable time
before the utterance. The brown jacket, or the boy over there.

G. Some problems For noun Classification

Some noncount noun are always plural, except for a few specialized usages. The noun scissors, shears, trousers, pyjamas, jeans, knickers require a pair of, two pairs of.
On the other hand, nouns like police, people, cattle and vermin are used for plural noun.
The police are coming immediately
The police is coming immmeduately (wrong)
One last significant problem for classification concern collective noun, which refer to groups of individuals. In American English, when the singular nouns like administration, public, crowd, are used as subject, presents tense verb are almost inevitably in their singular form. (see subject-verb agreement)

Jumat, 01 Juli 2011

In linguistics, anaphora (pronounced /əˈnæfərə/) is an instance of an expression referring to another.

In general, an anaphoric expression is represented by a pro-form or some kind of deictic.

In some theories, the strict definition of anaphora includes only references to preceding utterances. A preceding utterance can be anything, such as a noun (see examples below). Under this definition, forward references (where the cataphoric expression refers to a succeeding utterance) are instead named cataphora, and both effects together are endophora. Also, the term exophora names situations where the referent does not appear in the utterances of the speaker, but instead in the real world. Some linguists prefer to define anaphora generically to include all of these referential effects.Contents


Anaphoric reference

Generally "anaphora" refers to the way in which a word or phrase relates to other text. These further terms are also seen:
An exophoric reference refers to language outside of the text in which the reference is found.
A homophoric reference is a generic phrase that obtains a specific meaning through knowledge of its context. For example, the meaning of the phrase "the Queen" may be determined by the country in which it is spoken. Because there are many Queens throughout the world, the location of the speaker provides the extra information that allows an individual Queen to be identified.
An endophoric reference refers to something inside of the text in which the reference is found.
An anaphoric reference, when opposed to cataphora, refers to something within a text that has been previously identified. For example, in "Susan dropped the plate. It shattered loudly" the word "it" refers to the phrase "the plate".
A cataphoric reference refers to something within a text that has not yet been identified. For example, in "Because he was very cold, David promptly put on his coat" the identity of the "he" is unknown until the individual is also referred to as "David".
[edit]
Examples
The monkey took the banana and ate it. "It" is anaphoric under the strict definition (it refers to the banana).
Pam went home because she felt sick. "She" is anaphoric (it refers to Pam).
What is this? "This" can be considered exophoric (it refers to some object or situation near the speaker).
The dog ate the bird and it died. "It" is anaphoric and ambiguous (did the dog or bird die?).
[edit]
Anaphora in generative grammar

In generative grammar, the term anaphor is used to refer to English's reflexive and reciprocal pronouns, and analogous forms in other languages. Anaphors in this sense must have strictly local antecedents, because they receive their reference via the local syntactic operation (or rule of interpretation) known as binding.

Reflexive anaphors must obey binding condition A, which states that "a reflexive pronoun must be bound within the smallest category containing it, its selecting head and a subject (=its governing category, or GC)".[1] In the following sentence: *John thought that she saw himself, the GC of the reflexive 'himself' is the relative clause, since it contains the anaphor itself, its selecting head (saw) and a subject (she). The only available noun that could bind 'himself' is 'she', but this is ruled out because of the gender mismatch. The anaphor is therefore left unbound, which violates condition A - explaining the sentence's ungrammaticality.
[edit]
Anaphor resolution

This means finding what the anaphor is referring to. Statistical methods based on tokens’ frequency are commonly used, though with compromises.

It is often difficult when sentences are taken out of context.
The Prime Minister of New Zealand visited us yesterday. The visit was the first time she had come to New York since 1998.

If the second sentence is quoted by itself, it is necessary to resolve the anaphor:
The visit was the first time the Prime Minister of New Zealand had come to New York since 1998.

Although of course, as The Prime Minister of New Zealand is an office of state and she would seem to refer to the person currently occupying that office, it could quite easily be that the Prime Minister of New Zealand had visited New York since 1998 and before the present day, whilst the present incumbent she had not.

However, even when taken in context, anaphor resolution can become increasingly complex. Consider the three examples:
We gave the bananas to the monkeys because they were hungry.
We gave the bananas to the monkeys because they were ripe.
We gave the bananas to the monkeys because they were here.

In the first sentence, "they" refers to "monkeys", whereas in the second sentence, "they" refers to "bananas". A semantic understanding that monkeys get hungry, while bananas become ripe is necessary when resolving this ambiguity. Since this type of understanding is still poorly implemented in software, automated anaphora resolution is currently an area of active research within the realm of natural language processing. The third sentence isn't easily resolved either way.
[edit]
Complement anaphora

In some special cases, an anaphora may refer not to its usual antecedent, but to its complement set. This phenomenon was first extensively studied in a series of psycholinguistic experiments,[2][3] in the early 1990s.

In (1), the anaphoric pronoun 'they' refers to the children who are eating the ice-cream. Contrastingly, in (2), 'they' seems to refer to the children who are not eating ice-cream.
(1) Only a few of the children ate their ice-cream. They ate the strawberry flavour first.
(2) Only a few of the children ate their ice-cream. They threw it around the room instead.

The fact that sentences like (2) exist in the language seems at first odd: by definition, an anaphoric pronoun must refer to some noun that has already been introduced into the discourse. In complement anaphora cases, since the referent of the pronoun hasn't been formerly introduced, it is difficult to explain how something can refer to it. In the first sentence of (2), the set of ice-cream-eating-children is introduced into the discourse; but then the pronoun 'they' refers to the set of non-ice-cream-eating-children, a set which hasn't been priorly mentioned. One resolution of this problem is that 'they' refers to all the children, but the second sentence semantically excludes the children who ate ice cream, since children who ate their ice cream cannot throw it around the room.

Several accounts of this phenomenon are found in the literature, based on both semantic and pragmatic considerations. The most important point of debate is the question, whether the pronoun in (2) refers to the complement set (i.e. only to the set of non-ice-cream-eating-children), or to the maximal set (i.e. to all the children, while discounting the minority group).[4][5][6] The answer to this question may have theoretical consequences regarding the question of the kind of information that the brain is able to access or calculate, and also pragmatical consequences regarding the way a theory of anaphora resolution should be devised.

Jumat, 24 Juni 2011

Critical reading

Critical reading


OTHER ASPECTS OF CRITICAL READING
In chapter 2 through chapter 8, you have successively dealt with seven major types of aspects of critical reading. However, your considerations of these seven aspects (together with their points) are not yet sufficient to help you be an efective critical reader. You need to consider some other aspects of critical reading, i.e the author’s competence, intention, attitude and bias, the time of publication of the reading material, the target readers and culture, and the policies of the publication. The accuracy of your consideration on these aspects largely depends on the scope of your background knowledge and experience. The richer your knowledge, the more intelligent your evaluation on these aspects will be.
A. The author’s Competence
There are many factors that affect what an author communicates through his writing. These fact-ors cover scope of background knowledge and experience, education, habits, and skills. Their combination forms the author’s competence which makes some athors more competent than others do in certain fields. For instance, compared to a professor working in the laboratories, a professor who works at a teacher preparation college can rationally write papers that are more valid on any subjects in education. To give another example, a writer who has had children can probably write more practical guide to child rearing than one who has never had children.

B. The author’s Intention
An author’s intentions in writing a passage may be various. However, there is usually a particular purpose that an author wants to achieve by writing a particular material at a particular time. The particular purpose must be one of the general purposes of the use of language, i.e. to maintain rapport, to inform, to convince, to persuade (and to move to action), and to communicate experience in esthetic form.
1. To maintain rapport.
In it’s simplest form, maintaining rapport is exemplified by the conversation which takes place upon chance encounters with strangers and casual acquaintances when conversation demands that we speak in order to avoid seeming rude. Thus, languange is used primarily not for the communication of ideas, but for the establishment of appropriate social relationships. On such occasions, we are careful to introduce subjects immediately establishing a common meeting ground, such as remarks about the weather, inquiries about a person’s health, and inconsequential comments upon “petty” topics.
In written communication, this is in parallel with reading materials written mainly for entertainment, like “post Scripts” in the Saturday Evening Post, and Lembergar” in Pos Kota. Such written matters use humor, anecdotes, exaggerations, the strange, the incongruous-anything that the writer thinks will genuinely please his reader.

2. To inform
To inform something to somebody else is the most common activity that people carry out using language. To inform means to explain and to share. To successfully achieve this type of purpose, professinal writers often present their facts in a way thatpiques curiosity. Take, for example, the succes achieved by the book entitled Conquest of the north and South poles.

3. To convince
A writer who seeks to convince is desirous only of securing agreement, the appeal is to the understanding. Any attempt to convince uses facts. However, different from a writer who presents facts only for the sake of explaining something, a writer who intends to convince always starts by cautiously discovering ideas he knows are non-controversial. Then he examines the opposing viewpoints fairly and dispassionately, adimts the strength and shows the weaknesses, relies heavily on facts and evidence, takes care to present a complete and logical picture, and if possible, uses testimony fro competent and acceptable authorities for reinforcement.

4. To persuade
To persuade or to move to action is the most difficult purpose to achieve, because in persuasion, the final appeal is to the volition and most human beings are reluctant to change. It is difficult because everyone has reasons, often deeply hidden and unknown, for clinging to familiar ways, and because action may mean giving up opinions lived with a long time, overcoming fears, and altering habits. Thus, a writer who wants to get his writers to act usually tries to achieve the first three purposes as preliminaries to this forth.

5. To present Experience in Aesthetic Form
This purpose is the goal a literary artist want to achieve through the creation of his works. He wants to reveal a segment of experience in the most perfect form he can devise. Although at times he may inform, convince, or persuade, that is not his real purpose. M oved by the significance of some aspect of life, he seeks to share his insights concerning human values and human conduct.

C. The Author’s Attitude
An author’s treatment of a subject reflects an attitude toward it. Attitude is also important to understand, because it shows the author’s personal feeling about the subject he is writing. Attitude can range from sad to happy, angry to delighted, sympathetic to unsympathetic, tolerant to furios. An author also has an attitude toward the reader. Some writers assume they are writing to people inferior o themselves while others write to their equals. How many textbooks have you read where the author seamed to be writing to other aspects in the field rather than to you, a new comer to the field?

D. The Author’s Bias
To be blased means to be prejudiced about or to have a special leaning towards something. For instance, you may be biased about the type of music you listen to. May be you have no patience with clussical music and prefer hard rock. That is a bias. Perhaps you are biased when it comes to food and you would rather eat vegetables than meat. Everyone is biased about something, whether it is food, music, religion, politics, or people.
Recognizing bias is very important in reading. If you are not capable of doing it, you may become the victim of an author’s propaganda. You may miss seeing how an author takes facts and misrepresents them. You may miss seeing that an author is being more subjectives (using personal opinion) than objective (using undistorted facts). Or your may miss seeing how one-sided some writing is.
Sometimes reconising an author’s bias is easy; at other times, it isn’t. Bias is apt to be present in advertisements, newspaper, and magazine editorials, and religions and political pamphlets. You generaly pay little atention toan author bias when it matches your own bias.
When you don’t agree with an author, the reverse is true. To read critically, you must always be aware of both your own and the author’s bias. This is, of course, means real involvement in and thinking through what is being read, In effect, critical reading is thinking.

GUNS AND BATTER
(Richard Lipez)

The hue and cry over the so-called American gun problem is being raised again, but what the “liberal” advocates of gun control continue to overlook are the legitimate uses to which guns are put by millions of law-abiding Americans. Guns don’t kill people, people do. The gun critics conventionally choose to forget that the vast majority of gun-owners in this country use their weapons only for peaceful purposes.
Despite the popular misconceptions, most Americans’ rifles, for example, are used as tomato stacks. Or as curtain rods, or softball bats. Sometimes as rudders (extra oars) on small rafts. Many rifle owners also stuff bundles of straw up the barrels of their rifles and-presto-they’ve got a child’s toy broom. (Gun owners know that the sooner childrenstart “pretending” to help keep the house clean, the sooner they’ll get into the habit of helping to do the real thing).

E. The Time of Publication of the Reading Material
The validity of ideas depends greatly on time. An idea that was valid some years ago may no longer hold true at the pesent days. Perceive the following example. For nearly 2000 years, it was believed that the sun and other planets revolved around the earth. However, in 1530 Copernicus in his Commentarioulus showed that the earth and other planets move around the sun. And in his 1609 publication entittled Aetological Astronomy, keppler further refined the ideas of copernicus, in which he showed that he planets do move around the sun, but in an ellipse. Thus, anytime you read a material, especially the one you need to take as a reference, don’t forget to check its time of publication. Many points in a book published more than twenty years ago might not valid any more to refer to.

F. The policies of Publication
The Policies of the publication often determine the type of the published material. You would not expect to find liberal publications in country strictly dominated by certain doctrical power, such as religious and military dictatorship. Those who hold power will try to prevent the publication of ideas considered potential to undermine the political integrity ans stability. Thus, in nearly all places, censorship is continuosly practice. The government of all nations imposes censorship of one sort or another. Different degrees of censorship have at different places been applied to all forms of communication. Extreme cencorship may take the form of an absolute ban imposed on a particular medium of expression or banishment, or even execution of the commentator.
However, to a certain extent, censorship has both positive and negative dimensions. In some cases, due to its obligation to protect public morals, a state may need to censor what it considers to be corrupting in order to keep the continuity of the existence of its society. On the other hand, the censorship need not be absolute. It may be restricted to only those sectors of the public which are susceptible to the evils that are supposed to arise from the particular form of communication.
Realizing the existence of censorship, then, as a critical reader you should always be alert that the policies of publication of the materials you are facing might have influenced their validity.


G. The Target Readers
One of the most important questions a writer has address to himself while he is writing is :” To whom am I writing?” The type of the targeted readers affects the materials being written. An article on the nature of language learning to be consumed by a college student will be written differently from the one written for a layman. That is why a literary work that has been “adapted” or simplified for primary school pupils must have lost some of its beauty, compared to the original version. Thus, in order to criticize fairly, you should take “to whom the material is written” an aspect of your consideration.

Jumat, 03 Juni 2011

Manusia dan Iptek (ISBD)

KATA PENGANTAR

 
 

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkat, rahmat dan ridho-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah materi mata kuliah ilmu alamiah dasar yang berjudul "Dampak perkembangan teknologi bagi kehidupan manusia" makalah ini berisi uraian mengenai perkembangan teknologi bagi kehidupan manusia dari mulai sejarah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dampak positif dan negatif akibat perkembangan teknologi internet dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan dosen yang telah memberikan dukungan kepada saya dalam menyelesaikan makalah ini.

 
 

Saya menyadari kalau dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna . oleh sebab itu dengan hati yang terbuka , saya mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

 
 

Bekasi , 30 November 2009

 
 

BAB I

 
 

PENDAHULUAN

 
 

    A. Latar Belakang

 
 

Ilmu alamiah atau sering disebut ilmu pengetahuan alam (natural science), merupakan pengetahuan yang mengkaji mengenai gejala-gejala dalam alam semesta, termasuk di muka bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan prinsip. Ilmu Alamiah Dasar hanya mengkaji konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar yang essensial saja.

Pada pembahasan kali ini kami akan membahas Ilmu Alamiah Dasar secara lebih spesisfik lagi, yaitu pembahasan mengenai Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi. Seseorang menggunakan teknologi karena ia memiliki akal. Dengan akalnya ia ingin keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebih aman, mudah, nyaman dan sebagainya. Perkembangan teknologi terjadi karena seseorang menggunakan akalnya dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya.

Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat-perangakat mesin, seperti computer, kendaraan, handphone, dan lain sebagainya.

Pada satu sisi, perkembangan dunia IPTEK yang demikian mengagumkan itu memang telah membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Meskipun ada dampak negatifnya atau kelemahan dari kemajuan IPTEK. Namun hal ini seolah diabaikan oleh manusia, faktanya tidak dipungkiri lagi IPTEK dikembangkan setiap waktu dan banyak pula pengaruhnya, baik yang positif maupun negatif. Berikut uraianya.

 
 

    B. Rumusan Masalah

 
 

Dalam makalah ini saya mencoba membahas beberapa masalah antara lain :

 
 

ü uraian pendapat para pakar tekhnologi mengenai perkembangan teknologi bagi kehidupan manusia

 
 

ü Akan dibahas mengenai pengertian teknologi secara umum dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi

 
 

ü Dampak positif dan negatif akibat perkembangan teknologi internet

 
 

ü Dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari

 
 

C. Metode Penelitian

 
 

Dalam menyusun makalah ini saya menggunakan metode penelitian dengan menggunakan internet ( membuka situs tentang Perkembangan teknologi bagi kehidupan manusia )

 
 

    D. Manfaat Penelitian

 
 

ü Untuk memberikan wawasan, pengetahuan dan pembelajaran tentang perkembangan teknologi bagi kehidupan manusia dari mulai sejarah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dampak positif dan negatif akibat perkembangan teknologi internet dan manfaat teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

 
 

BAB II

 
 

Teknologi bagi Kehidupan Manusia

 
 

    1. Perkembangan Teknologi Menurut Para Ahli

 
 

Nana Syaodih S. (1997: 67) menyatakan bahwa sebenarnya sejak dahulu teknologi sudah ada atau manusia sudah menggunakan teknologi. Kalau manusia pada zaman dulu memecahkan kemiri dengan batu atau memetik buah dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan teknologi, yaitu teknologi sederhana.

Terkait dengan teknologi, Anglin mendefinisikan teknologi sebagai penerapan ilmu-ilmu perilaku dan alam serta pengetahuan lain secara bersistem dan menyistem untuk memecahkan masalah. Ahli lain, Kast & Rosenweig menyatakan Technology is the art of utilizing scientific knowledge. Sedangkan Iskandar Alisyahbana (1980:1) merumuskan lebih jelas dan lengkap tentang definisi teknologi yaitu cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, panca indera, dan otak manusia.

Menurut Iskandar Alisyahbana (1980) Teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah "teknologi belum digunakan. Istilah "teknologi" berasal dari "techne " atau cara dan "logos" atau pengetahuan. Jadi secara harfiah teknologi dapat diartikan pengetahuan tentang cara. Pengertian teknologi sendiri menurutnya adalah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan akal dan alat, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindra dan otak manusia.

Sedangkan menurut Jaques Ellul (1967: 1967 xxv) memberi arti teknologi sebagai" keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap bidang kegiatan manusia.

 
 

    2. Pengertian teknologi secara umum

 
 

    proses yang meningkatkan nilai tambah

    produk yang digunakan dan dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja

    Struktur atau sistem di mana proses dan produk itu dikembamngkan dan digunakan

 
 

Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuanm ilmu pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, di sisi lain juga juga memungkinkan digunakan untuk hal negatif.

 
 

Karena itu pada makalah ini kami membuat dampak-dampak positif dan negatif dari kemajuan teknologi dalam kehidupan manusia Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya teknologi. Artinya, bahwa teknologi merupakan keseluruhan cara yang secara rasional mengarah pada ciri efisiensi dalam setiap kegiatan manusia.

Perkembangan teknologi terjadi bila seseorang menggunakan alat dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya. Sebagai contoh dapat dikemukakan pendapat pakar teknologi dunia terhadap pengembangan teknologi.

Menurut B.J. Habiebie (1983: 14) ada delapan wahana transformasi yang menjadi prioritas pengembangan teknologi, terutama teknologi industri, yaitu 1) pesawat terbang, (2) maritim dan perkapalan, (3) alat transportasi, (4) elektronika dan komunikasi, (5) energi, (6) rekayasa , (7) alat-alat dan mesin-mesin pertanian, dan (8) pertahanan dan keamanan.

 
 

    3. Dampak positif dan negatif akibat perkembangan teknologi internet

 
 

Di bawah ini akan dijelaskan dampak-dampak positif maupun negatif dari penggunaan internet :

 
 

    Dampak Positif

 
 

a) Internet sebagai media komunikasi merupakan fungsi internet yang paling banyak digunakan dimana setiap pengguna internet dapat berkomunikasi dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia.

 
 

b) Media pertukaran data dengan menggunakan email, newsgroup, ftp dan www (world wide web – jaringan situs-situs web) para pengguna internet di seluruh dunia dapat saling bertukar informasi dengan cepat dan murah.

 
 

c) Media untuk mencari informasi atau data perkembangan internet yang pesat, menjadikan www sebagai salah satu sumber informasi yang penting dan akurat.

 
 

d) Kemudahan memperoleh informasi yang ada di internet sehingga kita tahu apa saja yang terjadi.

 
 

e) Bisa digunakan sebagai lahan informasi untuk bidang pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.

 
 

f) Kemudahan bertransaksi dan berbisnis dalam bidang perdagangan sehingga tidak perlu pergi menuju ke tempat penawaran/penjualan.

 
 

    Dampak Negatif

 
 

a) Pornografi anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela.

 
 

b) Penipuan hal ini memang merajalela di bidang manapun. Internet pun tidak luput dari serangan penipu.

 
 

c) Bisa membuat seseorang kecanduan terutama yang menyangkut pornografi dan dapat menghabiskan uang karena hanya untuk melayani kecanduan tersebut. Jadi internet tergantung pada pemakainya bagaimana cara mereka dalam menggunakan teknologi itu, namun semestinya harus ada batasan-batasan dan norma-norma yang harus mereka pegang teguh walaupun bersentuhan dengan internet atau di dalam dunia maya.

 
 

    4. Manfaat Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kehidupan Sehari-hari

 
 

Teknologi Informasi dan Komunikasi yang perkembangannya begitu cepat secara tidak langsung mengharuskan manusia untuk menggunakannya dalam segala aktivitasnya Beberapa penerapan dari Teknologi Informasi dan Komunikasi antara lain :

 
 

    Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Perusahaan

    Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi banyak digunakan para usahawan. Kebutuhan efisiensi waktu dan biaya menyebabkan setiap pelaku usaha merasa perlu menerapkan teknologi informasi dalam lingkungan kerja.

 
 

    Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Bisnis

 
 

Dalam dunia bisnis Teknologi Informasi dan Komunikasi dimanfaatkan untuk perdagangan secara elektronik atau dikenal sebagai E-Commerce. E-Commerce adalah perdagangan menggunakan jaringan komunikasi internet.

 
 

    Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Perbankan

    Dalam dunia perbankan Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah diterapkannya transaksi perbankan lewat internet atau dikenal dengan Internet Banking.

 
 

    Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan Teknologi pembelajaran terus mengalami perkembangan seirng perkembangan zaman. Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari Makalah Teknologi Informasi dan Komunikasi sering dijumpai kombinasi teknologi audio/data, video/data, audio/video, dan internet. Internet merupakan alat komunikasi yang murah dimana memungkinkan terjadinya interaksi antara dua orang atau lebih.

 
 

    Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Kesehatan

    Sistem berbasis kartu cerdas (smart card) dapat digunakan juru medis untuk mengetahui riwayat penyakit pasien yang datang ke rumah sakit karena dalam kartu tersebut para juru medis dapat mengetahui riwayat penyakit pasien.

 
 

BAB III

 
 

KESIMPULAN

 
 

Guna mempersiapkan sumber daya manusia yang handal dalam memasuki era kesejagadan, yang salah satunya ditandai dengan sarat muatan teknologi, salah satu komponen pendidikan yang perlu dikembangkan adalah kurikulum yang berbasis pendidikan teknologi di jenjang pendidikan dasar.

 
 

.

Bahan kajian ini merupakan materi pembelajaran yang mengacu pada bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di mana peserta didik diberi kesempatan untuk membahas masalah teknologi dan kemasyarakatan, memahami dan menangani produk-produk teknologi, membuat peralatan-peralatan teknologi sederhana melalui kegiatan merancang dan membuat, dan memahami teknologi dan lingkungan.

Kemampuan-kemampuan seperti memecahkan masalah, berpikir secara alternatif, menilai sendiri hasil karyanya dapat dibelajarkan melalui pendidikan teknologi. Untuk itu, maka pembelajaran pendidikan teknologi perlu didasarkan pada empat pilar proses pembelajaran, yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

Untuk melengkapi kecerdasan iptek para pelajar, diperlukan pula penyelarasan pengajaran iptek dengan pengajaran imtaq. Sehingga terbentuklah manusia-manusia cerdas dan bermoral yang dapat menghasilkan berbagai teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia.

Bagi masyarakat sekarang, iptek sudah merupakan suatu religion. Pengembangan iptek dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang ada. Sementara orang bahkan memuja iptek sebagai liberator yang akan membebaskan mereka dari kungkungan kefanaan dunia. Iptek diyakini akan memberi umat manusia kesehatan, kebahagian dan imortalitas.

Sumbangan iptek terhadap peradaban dan kesejahteraan manusia tidaklah dapat dipungkiri. Namun manusia tidak bisa pula menipu diri akan kenyataan bahwa iptek mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi manusia. Dalam peradaban modern yang muda, terlalu sering manusia terhenyak oleh disilusi dari dampak negatif iptek terhadap kehidupan umat manusia

 
 

Kalaupun iptek mampu mengungkap semua tabir rahasia alam dan kehidupan, tidak berarti iptek sinonim dengan kebenaran. Sebab iptek hanya mampu menampilkan kenyataan. Kebenaran yang manusiawi haruslah lebih dari sekedar kenyataan obyektif. Kebenaran harus mencakup pula unsur keadilan. Tentu saja iptek tidak mengenal moral kemanusiaan,oleh karena itu iptek tidak pernah bisa menjadi standar kebenaran ataupun solusi dari masalah-masalah kemanusiaan.

Minggu, 01 Mei 2011

pAI

AKHLAK, MORAL DAN ETIKA (KELOMPOK 7)
I. Pengertian akhlak, moral dan etika
tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.

Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).

Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.[2]

a. Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]

b. Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.

Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.

Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.

c. Moral

Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.

Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.

Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.

Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.

Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.

d. Karakteristik dalam ajaran Islam

Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.

Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.

Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.

Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Penutup

Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.

Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.

Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.

Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.


Daftar Pustaka
II. Ruang lingkup
Ruang Lingkup Akhlak
[sunting]
Akhlak pribadi

Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan.[1]
[sunting]
Akhlak berkeluarga

Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat. Kewajiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, setiap agama telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara sabar, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.[1]

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala manusia lainya untuk engkau cintai, taati dan hormati.[1] Karena keduanya memelihara,mengasuh, dan mendidik, menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat.[1] Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan permpuan adalah putera ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau, menolong ayah dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan membelamu bilamana perlu.[1] Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan menolong keduanya disetiap keperluan.[1]
[sunting]
Akhlak bermasyarakat

Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah, mereka menolong, dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudhorotan, orang tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta dan hormat pada tetangga.[1]

Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan, kesusilaan/moral timbul di dalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu, saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.[1]
[sunting]
Akhlak bernegara

Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka dengan nasib dan penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.[1]
[sunting]
Akhlak beragama

Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.[1]
III. Pembinaan akhlak dalam kehidupan sehari-hari
metode pembinaan akhlak dalam perspektif Islam.

Minimal ada 6 (enam) metode pembinaan akhlak dalam perspektif Islam ; metode yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis, serta pendapat pakar pendidikan Islam :
1. Metode Uswah (teladan)

Teladan adalah sesuatu yang pantas untuk diikuti, karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Manusia teladan yang harus dicontoh dan diteladani adalah Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab ayat 21 : “Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasulullah itu, teladan yang baik bagimu.”

Jadi, sikap dan perilaku yang harus dicontoh, adalah sikap dan perilaku Rasulullah SAW, karena sudah teruji dan diakui oleh Allah SWT.

Aplikasi metode teladan, diantaranya adalah, tidak menjelek-jelekkan seseorang, menghormati orang lain, membantu orang yang membutuhkan pertolongan, berpakaian yang sopan, tidak berbohong, tidak berjanji mungkir, membersihkan lingkungan, dan lain-lain ; yang paling penting orang yang diteladani, harus berusaha berprestasi dalam bidang tugasnya.
2. Metode Ta’widiyah (pembiasaan)

Secara etimologi, pembiasaan asal katanya adalah biasa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, biasa artinya lazim atau umum ; seperti sedia kala ; sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Mursyi dalam bukunya “Seni Mendidik Anak”, menyampaikan nasehat Imam al-Ghazali : “Seorang anak adalah amanah (titipan) bagi orang tuanya, hatinya sangat bersih bagaikan mutiara, jika dibiasakan dan diajarkan sesuatu kebaikan, maka ia akan tumbuh dewasa dengan tetap melakukan kebaikan tersebut, sehingga ia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat”

Dalam ilmu jiwa perkembangan, dikenal teori konvergensi, dimana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya, dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Salah satu cara yang dapat dilakukan, untuk mengembangkan potensi dasar tersebut, adalah melalui kebiasaan yang baik. Oleh karena itu, kebiasaan yang baik dapat menempa pribadi yang berakhlak mulia.

Aplikasi metode pembiasaan tersebut, diantaranya adalah, terbiasa dalam keadaan berwudhu’, terbiasa tidur tidak terlalu malam dan bangun tidak kesiangan, terbiasa membaca al-Qur’ab dan Asma ul-husna shalat berjamaah di masjid/mushalla, terbiasa berpuasa sekali sebulan, terbiasa makan dengan tangan kanan dan lain-lain. Pembiasaan yang baik adalah metode yang ampuh untuk meningkatkan akhlak peserta didik dan anak didik.
3. Metode Mau’izhah (nasehat)

Kata mau’izhah berasal dari kata wa’zhu, yang berarti nasehat yang terpuji, memotivasi untuk melaksanakannya dengan perkataan yang lembut.

Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 232 :…”Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kalian, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian”…

Aplikasi metode nasehat, diantaranya adalah, nasehat dengan argumen logika, nasehat tentang keuniversalan Islam, nasehat yang berwibawa, nasehat dari aspek hukum, nasehat tentang “amar ma’ruf nahi mungkar”, nasehat tentang amal ibadah dan lain-lain. Namun yang paling penting, si pemberi nasehat harus mengamalkan terlebih dahulu apa yang dinasehatkan tersebut, kalau tidak demikian, maka nasehat hanya akan menjadi lips-service.
4. Metode Qishshah (ceritera)

Qishshah dalam pendidikan mengandung arti, suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran, dengan menuturkan secara kronologis, tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal, baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya rekaan saja.

Dalam pendidikan Islam, ceritera yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis merupakan metode pendidikan yang sangat penting, alasannya, ceritera dalam al-Qur’an dan Hadis, selalu memikat, menyentuh perasaan dan mendidik perasaan keimanan, contoh, surah Yusuf, surah Bani Israil dan lain-lain.

Aplikasi metode qishshah ini, diantaranya adalah, memperdengarkan casset, video dan ceritera-ceritera tertulis atau bergambar. Pendidik harus membuka kesempatan bagi anak didik untuk bertanya, setelah itu menjelaskan tentang hikmah qishshah dalam meningkatkan akhlak mulia.
5. Metode Amtsal (perumpamaan)

Metode perumpamaan adalah metode yang banyak dipergunakan dalam al-Qur’an dan Hadis untuk mewujudkan akhlak mulia. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 17 : “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”… Dalam beberapa literatur Islam, ditemukan banyak sekali perumpamaan, seperti mengumpamakan orang yang lemah laksana kupu-kupu, orang yang tinggi seperti jerapah, orang yang berani seperti singa, orang gemuk seperti gajah, orang kurus seperti tongkat, orang ikut-ikutan seperti beo dan lain-lain. Disarankan untuk mencari perumpamaan yang baik, ketika berbicara dengan anak didik, karena perumpamaan itu, akan melekat pada pikirannnya dan sulit untuk dilupakan.

Aplikasi metode perumpamaan, diantaranya adalah, materi yang diajarkan bersifat abstrak, membandingkan dua masalah yang selevel dan guru/orang tua tidak boleh salah dalam membandingkan, karena akan membingungkan anak didik.

Metode perumpamaan ini akan dapat memberi pemahaman yang mendalam, terhadap hal-hal yang sulit dicerna oleh perasaan. Apabila perasaan sudah disentuh, akan terwujudlah peserta didik yang memiliki akhlak mulia dengan penuh kesadaran.
6. Metode Tsawab (ganjaran)

Armai Arief dalam bukunya, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, menjelaskan pengertian tsawab itu, sebagai : “hadiah ; hukuman. Metode ini juga penting dalam pembinaan akhlak, karena hadiah dan hukuman sama artinya dengan reward and punisment dalam pendidikan Barat. Hadiah bisa menjadi dorongan spiritual dalam bersikap baik, sedangkan hukuman dapat menjadi remote control, dari perbuatan tidak terpuji.

Aplikasi metode ganjaran yang berbentuk hadiah, diantaranya adalah, memanggil dengan panggilan kesayangan, memberikan pujian, memberikan maaf atas kesalahan mereka, mengeluarkan perkataan yang baik, bermain atau bercanda, menyambutnya dengan ramah, meneleponnya kalau perlu dan lain-lain.

Aplikasi metode ganjaran yang berbentuk hukuman, diantaranya, pandangan yang sinis, memuji orang lain dihadapannya, tidak mempedulikannya, memberikan ancaman yang positif dan menjewernya sebagai alternatif terakhir. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mani, ia berkata : “Aku telah diutus oleh ibuku, dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasulullah, kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada beliau, dan ketika aku mendatangi Rasulullah, beliau menjewer telingaku sambil berseru ; wahai penipu”.

Dari Hadis di atas, dapat dikemukakan, bahwa menjewer telinga anak didik, boleh-boleh saja, asal tidak menyakiti. Namun di negeri ini, terjadi hal yang dilematis, menjewer telinga anak didik, bisa-bisa berurusan dengan pihak berwajib, karena adanya Undang-Undang Perlindungan Anak. Pernah terjadi seorang guru, karena menjewer telinga anak didiknya yang datang terlambat, orang tua siswanya lalu melaporkan ke polisi, lalu sang guru terpaksa masuk sel. Oleh karena itu ke depan, perlu pula dibuat Undang-Undang Perlindungan Guru, sehingga guru dalam melaksanakan tugasnya, lebih aman dan nyaman.

Akhirnya, supaya pekat tidak semakin parah, selanjutnya akhlak generasi muda akan semakin baik, dan akhlak mulia dapat pula terwujud, seyogianyalah orang tua, guru, pemimpin formal dan non-formal mengaplikasikan metode pembinaan akhlak dalam perspektif Islam itu, dalam proses pendidikan, baik dalam lembaga pendidikan formal, maupun dalam kehidupan rumah tangga. Semoga Allah SWT memberkahinya…. Amin !
IV. Hubungan akhlak dengan tasawuf
Manfaat mempelajari Ilmu Akhlak:
1. Menetapkan criteria perbuatan yang baik dan buruk.
2. Membersihkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
3. Mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia.
4. Memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau buruk.

Pengertian Tasawuf:
• Secara bahasa tasawuf berarti:
- saf (baris), sufi (suci), sophos (Yunani: hikmah), suf (kain wol)
- sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana.

• Menurut Istilah:
1. Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt.
2. Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.

Sumber Ajaran Tasawuf:
1. Unsur Islam:
- Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk: mencintai Tuhan (QS. Al-Maidah: 54), bertaubah dan mensucikan diri (QS> At-Tahrim: 8), manusia selalu dalam pandangan Allah dimana saja (QS. Al-Baqarah: 110), Tuhan memberi cahaya kepada HambaNya (QS. An-Nur: 35), sabar dalam bertaqarrub kepada Allah (QS. Ali Imran: 3)
- Hadis Nabi seperti tentang rahasia penciptaan alam adalah agar manusia mengenal penciptanya.
- Praktek para sahabat seperti Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Talib, Abu Zar Al-Ghiffari, Hasan Basri, dll.
2. Unsur Non Islam:
a. Nasrani: Cara kependetaan dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
b. Yunani: Unsur filsafat tentang masalah ketuhanan.
c. Hindu/Budha: mujahadah, perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain.

Hubungan Akhlak dengan Tasawuf:

Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.

A. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU TASAWUF
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah

PERSAMAAN ETIKA, MORAL, DAN AKHLAK

• Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
• Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
1. Objek: yaitu perbuatan manusia
2. Ukuran: yaitu baik dan buruk
3. Tujuan: membentuk kepribadian manusia

PERBEDAAN
1. Sumber atau acuan:
- Etika sumber acuannya adalah akal
- Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
- Akhlak bersumber dari wahyu
2. Sifat Pemikiran:
- Etika bersifat filososfis
- Moral bersifat empiris
- Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal
3. Proses munculnya perbuatan:
- Etika muncul ketika ad aide
- Moral muncul karena pertimbangan suasana
- Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.

KONSEP BAIK DAN BURUK

Definisi Baik dan Buruk
• Pengertian baik atau khair adalah:
1. sesuatu yang sudah mencapau kesempurnaan,
2. sesuatu yang memiliki nilai kebenaran/nilai yang diharapkan,
3. sesuatu yang berhubungan dengan luhur, bermartabat, menyenangkan, dan disukai manusia.
• Buruk atau syarr, memiliki pengertian kebalikan dari baik.
• Pengertian baik dan buruk di atas bersifat subjektif, relative, tergantung individu yang menilainya.

Penentuan Baik dan Buruk
1. Berdasarkan adat istiadat masyarakat (aliran sosialisme).
2. Berdasarkan akal manusia (hedonisme)
3. Berdasarkan intuisi (humanisme)
4. Berdasarkan kegunaan (utilitarianisme)
5. Berdasarkan agama (religiousisme)

Konsep Baik dalam ajaran Islam
1. Hasanah; sesuatu yang disukai atau dipandang baik (QS. 16: 125, 28: 84)
2. Tayyibah; sesuatu yang memberikan kelezatan kepada panca indera dan jiwa (QS. 2: 57).
3. Khair; sesuatu yang baik menurut umat manusia (QS. 2: 158).
4. Mahmudah; sesuatu yang utama akibat melaksanakan sesuatu yang disukai Allah (QS. 17: 79).
5. Karimah; perbuatan terpuji yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari (QS. 17: 23).
6. Birr; upaya memperbanyak perbuatan baik (QS. 2: 177).